Senin, Juni 08, 2009

Komisi Yudisial

KOMISI YUDISIAL (KY) R.I
UUD dan UU yang berhubungan dengan KY Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung.Sebagai salah satu buah dari agenda reformasi nasional tahun 1998, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945).

Salah satu perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945 yaitu adanya organ negara yang baru. Dalam Pasal 24B hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adanya ide pembentukan Komisi Yudisial diadopsi ke dalam konstitusi negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ konstitusi lainnya.

Fungsi Komisi Yudisial telah dilembagakan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sejak tanggal 13 Agustus 2004 (UU No. 22, 2004), yaitu dengan ketentuan Pasal 39 yang menyatakan: "Selama keanggotaan Komisi Yudisial belum terbentuk berdasarkan Undang-undang ini, pencalonan Hakim Agung dilaksanakan berdasarkan Undang?undang Nomor 14 tahu 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
"Pembentukan Komisi Yudisial haruslah dilakukan dengan pengangkatan para anggota Komisi Yudisial menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 24B ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi "Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat."

Dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka ditetapkanlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Oleh karena itu sebelum Komisi Yudisial dibentuk sebagaimana mestinya, perlu dibentuk terlebih dahulu tim seleksi Komisi Yudisial. Untuk itu Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Januari 2005 telah menanda tangani Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial (Harian Kompas, 2005). Atas dasar Keputusan Presiden inilah panitia akan melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Komisi Yudisial yang berkualitas, energik, potensial dan mengerti hukum.

Pada tanggal 8 Juni 2005, komisi III DPR menetapkan tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) melalui voting tertutup dalam rapat pleno khusus (Harian Kompas, 9 Juni 2005).
Dasar hukum dan kewenanganLembaga Negara yang terbentuk dari hasil Pasal 24B UUD 1945. Tugas KY mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Lembaga ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial negara kita secara jelas disebut di tiga peraturan perundang-undangan yaitu UUD 1945, UU No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.UUD 1954Pasal 23a ayat (3) UUD 1945:“Calon hakim agung diusulkan komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Pasal 24b UUD 1945(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 34:Ayat (1)“Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan Undang-Undang”
Ayat (3)“Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh komisi yudisial yang diatur dalam Undang-Undang.Pemilihan hakim agungKY bertugas mendaftar, menyeleksi dan menetapkan serta mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Pengawasan perilaku hakim Selain seleksi hakim agung, KY memiliki 'wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim'. KY bertugas menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim, kemudian memeriksa dugaan pelanggaran itu serta membuat laporan berupa rekomendasi yang disampaikan pada MA dengan tindasan pada Presiden dan DPR.Namun, metode pengawasan perilaku hakim yang diterapkan KY tak bisa diterima oleh jajaran kehakiman dan menimbulkan friksi diantara keduanya. KY telah berkirim beberapa rekomendasi pelanggaran perilaku hakim kepada MA namun tak pernah digubris.Konflik berpuncak pada putusan hak uji materil oleh MK yang menyatakan inkonstitusional beberapa ketentuan pokok sehubungan wewenang pengawasan hakim. Antara lain hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan KY, serta MK mencabut ketentuan dalam UU No. 22/2004 yang memberikan kewenangan pengawasan hakim kepada KY.Kejelasan pengawasan hakim ini sedianya akan diperjelas melalui revisi paket UU kekuasaan kehakiman yang masih digodok di DPR.

Sejarah pembentukanAwalnya, pada 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Lembaga ini sedianya akan difungsikan untuk memberi pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir seputar saran atau usul berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim.
Namun, ide MPPH ini akhirnya tidak jadi dimasukkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.Tahun 1998, ide itu mencuat kembali, terutama sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim dan maraknya tudingan mafia peradilan. Penyatuan atap dipandang membutuhkan pengawasan eksternal agar cita-cita mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional tercapai. Lembaga eksternal itu diwacanakan harus mandiri.
''Pada 1999 UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman diubah dengan UU No. 35/1999, ide serupa MPPH kembali mencuat, namun dengan nama yang berbeda, yaitu Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang fungsinya pada dasarnya melakukan pengawasan atas perilaku hakim. DKH ini tidak diatur secara eksplisit dalam batang tubuh UU tersebut, namun hanya dinyatakan dalam Penjelasan Umum.
Ternyata, selama UU No. 35/1999 berlaku DKH ini tidak pernah dibentuk. Namun, wacana DKH ini merupakan cikal bakal terbentuknya KY. Reformasi peradilan sebagai bagian dari reformasi nasional menuju supremasi hukum, menggiring amandemen UUD melakukan penambahan pasal berkenaan dengan kekuasaan kehakiman.

Ide tentang pengawasan eksternal kepada hakim didedahkan dalam Pasal 24 B UUD 1945 amandemen ketiga. Muncullah KY sebagai lembaga pengawas eksternal dari lembaga penguasa kekuasaan kehakiman. Susunan, kedudukan, Keanggotaan, dan penjabaran tugas-kewajiban lebih lanjut mengenai KY, diatur dalam Undang-Undang No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Setelah UU itu disahkan, setahun kemudian Komisi Yudisial terbentuk dengan terpilihnya 7 orang Komisioner KY pada 17 Agustus 2005.Peranan Komisi Yudisial Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman, pertama, komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional.
Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan menegakkan integritas hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk memutus perkara secara mandiri.
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisal untuk bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.Kewenangan tersebut diatas sungguh sangat terbatas untuk itu diuraikan lagi dalamUndang-undang No 22 tahun 2004 yang mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan wewenangnya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Komisi Yudisal diberi tugas yaitu:
(Pasal 14 UU No. 22, 2004): melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; menetapkan calon Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya untuk melaksanakan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU No 22, 2004).
Disamping itu Komisi yudisial dalam menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi(Pasal 21 UU No 22, 2004).

Sebaliknya Komisi Yudisial didalam menjalankan peranannya diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahakamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran matabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22, 2004).Jadi untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Komisi diberi beberapa kewenangan antara lain yaitu:
pengawasan terhadap perilaku hakim;
pengajuan usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim; pengusulan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya.

Dari beberapa peranannya tersebut diatas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat banyak berkaitan dengan proses seleksi dimana penyeleksian dilembagakan dalam suatu lembaga negara. Sudah barang tentu akan berdampak positif terhadap hasil kerja yang diinginkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung berkualitas, potensial, menerti hukum dan profesional. Karena anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan terjamin, sebab dibentuk berdasarkan undang-undang dasar dan pelaksanaan tugasnya di payungi oleh suatu undang-undang.
Selanjutnya peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini menjadi hambatan di dalam melaksanakan pengawasan didalam instansi atau lembaga sendiri. Hal ini tidak hanya dialami di Indonesia tetapi di negara-negara asing seperti Amerika dan Australia.
Sebaliknya peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat
(Pasal 23 (2) UU No 22, 2004). Selanjutnya usul penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim(Pasal 23 (4) UU No 22, 2004).

Disatu pihak apa yang direkomendasikan Komisi Yudisial belum ada kekuatan mengikat, hal ini terlihat dari diberinya kesempatan lagi kepada hakim yang diusulkan diberi sanksi untuk memberikan pembelaan secukupnya di depan Majelis Kehormatan Hakim. Di lain pihak usulan tersebut belum bersifat final. Timbul beberapa hal yang kurang jelas, apa yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan Hakim, karena tidak dijelaskan dalam ketentuan umum Undang-undang No 22 tentang Komisi Yudisial. Disamping itu, apabila pembelaan hakim yang diusulkan diberikan sanksi didepan Majelis Kehormatan Hakim diterima, bagaimana pula dampaknya terhadap usulan Komisi Yudisial? Jadi dapat disimpulkan bahwa rekomendasi Komisi Yudisial belum bersifat final dan belum mengikat.
Selanjutnya usulan Komisi Yudisial untuk dapat mengikat dan bersifat final harus melalui tahapan pemeriksaan didepan Majelis Kehormatan Hakim dan Keputusan usul pemberhentian diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden. Sedangkan sanksi teguran tertulis dan pemberhentian sementara dilakukan oleh siapa ini yang belum jelas diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004.

Tata Cara Pengusulan Hakim AgungMekanisme pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial(Pasal 13 (a) UU No 22, 2004). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain:
Siapa yang dapat mengajukan menjadi calon Hakim Agung?
Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung?
Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?

Didalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain adalah Mahkamah Agung, Pemerintah, dan Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:Karir dan Non karir.
Ini membuka kesempatan bahwa jika dibutuhkan maka dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial
(Pasal 7(2) UU No 5, 2004).Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya tersebut diatas, paling lama 6 (enam) bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung
(Pasal 14 (3) UU No.22, 2004).
Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 (lima belas) hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung harus mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung
(Pasal 15 (1) UU No.22, 2004). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 (lima belas) hari berturut-turut.
Sebaliknya Mahkamah Agung, Pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung dalam jangka waktu paling lama 15 (lim belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung.Setelah 15 (lima belas) hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belasa) hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi.
Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang ke sahian informasi tersebut.

Proses penseleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.

Tata Cara Pengawasan HakimUntuk melaksanakan peranannya mengawasi hakim, Komisi Yudisial dapat melakukan beberapa hal antara lain untuk
(Pasal 22 UU No.22, 2004):menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim; meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran perilaku hakim; memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Komisi Yudisial dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim tidak boleh sewenang-wenang. Komisi Yudisial wajib mentaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.

Perlu diperhatikan bahwa pelaksaanaan tugas pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
(Pasal 22 UU No.22, 2004).Dalam hal menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan dari badan peradilan dan hakim, melakukan pemeriksaan, Komisi Yudisial setelah dilantik dan diambil sumpahnya diharapkan secepatnya membuat Tata Cara Pengajuan Laporan Terhadap Perilaku Hakim. Hal ini sangat penting sebagai pedoman kerja Komisi Yudisial.
Disarankan bahwa yang dimaksud menerima laporan dari masyarakat dapat diperluas antara lain:
-perorangan
-hakim
-advokat
-staf pengadilan
-badan hukum publik atau private
-lembaga negara
-anggota Komisi Yudisial dan atau staff

Untuk melaksanakan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, Komisi Yudisial harus membuat kode etik perilaku hakim secepatnya. Karena belum ada ukuran yang jelas yang dimaksud perilaku hakim yang berhormat dan bermartabat. sebagai wacana bahwa perilaku dapat dibagai menjadi beberapa kategori antara lain:
-perilaku hakim didalam ruang sidang
-perilaku hakim diluar ruang sidang
-perilaku hakim yang berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari
-dan ketidak mampuan phisik dan mental.

Perilaku hakim didalam ruang sidang atau memimpin sidang meliputi perilaku yang tidak pada tempat didalam ruang sidang. Termasuk perlakuan dan pertimbangan hakim terhadap pembela, saksi dan yang terlibat dalam persidangan dalam mendengarkan kesaksian, maupun pembelaan. Perilaku secara phisik yang tidak pada tempatnya atau tidak dapat memimpin sidang dengan baik.Hakim harus mandiri dari semua pengaruh yang berkemungkinan mempengaruhi kemampuan mereka untuk memutus perkara secara adil dan tidak memihak.
Untuk itu para hakim tidak diperbolehkan membiarkan anggota keluarganya, masyarakat sekitar dan hubungan politik memperngaruhi keputusan pengadilan. Sebagai contoh hakim tidak boleh memberi atau menerima hadiah, sogok, kredit atau bantuan.
Untuk itu para hakim harus membuat laporan keuangan baik kepada pengadilan maupun Komisi Yudisial.

Mengenai perilaku hakim diluar ruang sidang, sudah tentu hakim sebagai anggota masyarakat hidup dilingkungan kerja maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menjadi tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi kegiatan hakim diluar ruang sidang. Pengawasan ini meliputi: -penyalahgunaan pegawai negeri, barang milik negara atau keuangan negara
-perkataan atau pergaulan yang tidak pada tempatnya
-mempengaruhi jalannya proses pengadilan
-melakukan korupsi
-menggunakan kedudukan untuk mengumpulkan dana.
Jadi perilaku hakim yang tidak berhormat dan bermartabat sangat luas dari tindakan yang tidak pada tempatnya hingga tindakan yang bersifat kriminal.

Momen penting

KY vs MA pada awalnya belum terlihat adanya masalah antara KY dan MA, terutama karena MA cukup terlibat dalam penyusunan konsep dan UU KY.
Namun hubungan antar keduanya terlihat mulai retak Putusan Pilkada Depok Masalah mulai muncul seputar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas kasus sengketa Pilkada Depok yang cukup menjadi perhatian publik pada akhir 2005.
KY merekomendasikan MA agar memberhentikan sementara 3 orang hakim tinggi yang memeriksa perkara itu. Salah satunya, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nana Juwana, direkomendasikan KY untuk diberhentikan sementara. MA tak merespon rekomendasi KY itu, namun MA mencopot Nana Juwana dari jabatannya sebagai KPT Jawa Barat dan ditarik ke MA sebagai hakim non-palu.Seleksi ulang hakim agungPada Januari 2006 KY mengeluarkan pernyataan kontroversial, mengusulkan agar seluruh hakim agung diseleksi ulang.
Wacana itu, menurut pimpinan KY, telah dikonsultasikan dengan Presiden dan Presiden mendukungnya. Usulan ini menuai reaksi cukup keras dari MA. Usulan KY ini merupakan bibit konflik antara KY dan MA selanjutnya.

Hakim bermasalah'Pada awal Februari 2006 muncul berita di media massa yang bersumber dari KY soal adanya 13 hakim agung yang bermasalah. Pemberitaan ini kembali membuat para hakim agung berang dan hubungan MA dan KY pun kembali memanas. Beberapa hakim agung yang dinyatakan bermasalah , salah satunya Artidjo Alkotsar yang selama ini dikenal bersih, itu mengadukan berita tersebut ke Kepolisian.
Tak berapa lama Ketua KY Busyro Muqodas yang juga kolega Artidjo Alkotsar di Universitas Islam Indonesia (UII) meminta maaf atas pemberitaan tersebut. Artidjo mencabut laporannya di Kepolisian. Namun hubungan antara MA dan KY tidak kunjung reda.
Judicial Review UU KY Konflik ini berpuncak pada Maret 2006, saat 31 orang hakim agung mengajukan permohonan hak uji materil (judicial review) atas beberapa ketentuan dalam UU No. 22/2004 tentang KY. Pada pokoknya permohonan tersebut berargumen KY tak berwenang untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi.

Pada 16 Agustus 2006 MK memutuskan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan KY, serta MK mencabut ketentuan dalam UU No. 22/2004 yang memberikan kewenangan pengawasan hakim kepada KY. Sejak saat itu KY kehilangan landasan kewenangannya untuk mengawasi hakim.Struktur KY terdiri dari 7 anggota (komisioner), dua diantaranya merangkap sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Anggota KY dipilih oleh DPR dan dilantik oleh Presiden dari unsur mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR.Syarat menjadi anggota KY antara lain:
-Berusia minimal 40 tahun dan maksimal 68 tahun tahun pada saat proses pemilihan/seleksi
-Berpengalaman di bidang hukum minimal 15 tahun
-Berintegritas dan kepribadian tak tercela
-Sehat jasmani rohani
-Tak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
-Melaporkan daftar kekayaan.

Komisioner KY dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pejabat/penyelenggara negara, hakim, advokat, notaris/PPAT, pengusaha, pengurus/karyawan BUMN/swasta, pegawai negeri, atau pengurus partai politik. Dalam melaksanakan tugas, komisioner KY dibantu oleh Sekretariat Jendral yang berasal dari unsur pegawai negeri sipil (PNS).Komisioner KY (periode 2002-2010)1. Busyro Muqoddas, Ketua2. Thahir Saimimma, Wakil Ketua3. Soekotjo Soeparto, Koordinator Bidang Hubungan antar Lembaga4. Mustafa Abdullah, Koordinator Bidang Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung5.
Irawady Joenoes, Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim (non-aktif)6. Prof Chatamarrasjid, Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia


~Wahyu Arifiyanti H~
-Saya akan menegakkan hukum sesuai hukum yang berlaku, dan
-Menjadikan KY sebagai instansi pemerintah yang berkualitas, baik, jujur, transparan, dan dapat dipercaya sepenuhnya.
~Syaninditha Rachmanti M~
-Pertama, saya tidak akan ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang tepat saat menegakkan hukum yang berlaku tanpa membeda-bedakan status,
-Bertugas sesuai aturan yang berlaku saat itu juga, dan
-Membuat KY sebagai Lembaga Negara yang dipercaya sepenuhnya oleh rakyat Indonesia.
Opini
~Wahyu Arifiyanti H~
Hingga saat ini kinerja KY sudah bagus, tetapi KY harus tetap meningkatkan kinerjanya agar menjadi instasi pemerintah yang lebih bagus lagi.
~Syaninditha Rachmanti Marissa~
Anggota KY yang saat ini bertugas, sudah dapat menjalankan kewajibannya dengan baik, namun disamping itu perlu juga yang namanya perkembangan, agar masalah-masalah KY yang pernah terjadi tidaklah terulang kembali atau bahkan tidak terjadi masalah baru yang merambat pada KY dan bangsa Indonesia..

Tidak ada komentar: