Selasa, Juni 09, 2009

MPR

MPR Telah Melanggar UUD 1945

Oleh: A. S. S. Tambunan
Judul tulisan dapat menimbulkan pertanyaan: apa mungkin MPR melanggar UUD 1945 sebab bukanlah MPR berwenang untuk mengubah UUD. Memang harus diakui bahwa judul tersebut seolah-olah mengandung kontradiksi, tetapi itulah yang terjadi. Hal inilah yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Tetapi sebelumnya perlu kiranya terlebih dahulu diuraikan secara singkat sejarah pembuatan UUD 1945 karena mengenai masalah ini masih terdapat kesimpangsiuran di kalangan cendikiawan khususnya kalangan ilmuwan hukum dan juga di kalangan MPR. Kemudian ditinjau sistematika dan pokok isi UUD 1945 yang berhubungan dengan MPR. Baru sesudah itu kelihatan dimana letak kesalahan yang dilakukan oleh MPR.
Kalau buku Muh.Yamin yang terkenal (Naskah Persiapan UUD 1945) mengenai sejarah pembuatan UUD 1945 sepintas lalu dibaca maka timbul keheranan pada diri pembaca bahwa Panitia Perancang Hukum Dasar dapat menyelesaikan tugasnya hanya dalam waktu satu bulan saja. Bahkan menurut laporan Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPRS Tahun 1967 Panitia Hukum Dasar dapat menyelesaikan tugasnya hanya dalam empat hari saja. Waktu satu bulan apalagi empat hari adalah sangat singkat. Terlalu singkat untuk dapat menyusun suatu hukum dasar atau UUD.
Terkecuali kalau sebelumnya sudah ada konsep yang sudah matang dibahas dan yang dijadikan dasar pembicaraan. Dengan demikian panitia tinggal mengambil alih draft yang sudah ada dan menyempurnakannya. Beberapa uraian dalam buku Muh. Yamin khususnya Jilid Kedua dan Ketiga memberikan petunjuk ke arah itu. Terdapat suatu draft lengkap mengenai Rancangan UUD RI yang menurut Muh. Yamin diserahkan kepada Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 Mei 1945. Jadi, sebelum dimulai perdebatan mengenainya. Selain itu juga disebut tentang dua naskah rancangan UUD yang disusun Supomo, Ahmad Subardjo, dan Maramis tertanggal 4 April 1942 yang ditemukan dalam kumpulan naskah peninggalan Prof. mr.dr. Supomo. Selanjutnya Prof. J. H. A. Logemann dalam bukunya berjudul Nieuwe Gegevens Over Het Ontstaan Van De Indonesische Grondwet Van 1945 (diterjemahkan Dardji Darmodihardjo, Keterangan-keterangan Baru tentang Terjadinya UUD 1945, Jakarta, Aries Lima, 1983, hal. 11-12) menulis tentang adanya suatu rancangan UUD yang diajukan oleh Djajadiningrat dkk pada tanggal 15 Juni 1945. George Mc Turnan Kahin menulis dalam buku terkenalnya berjudul Natioalism and Revolution in Indonesia (Ithaca and London, Cornell Paperback, 1970, hal. 12) bahwa dalam bulan Januari 1944 sudah ada sebuah panitia terdiri dari delapan puluh orang yang mengerjakan sebuah rancangan UUD.
Kata-kata yang diucapkan Bung Karno selaku Ketua Panitia sewaktu memulai membahas Rancangan UUD juga memberikan petunjuk ke arah telah ada sebuah atau beberapa konsep UUD. Dia mengatakan: ” …jika kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya. …kita tidak membebek kepada contoh UUD negara lain, tetapi membuat UUD yang baru, yang berisi kepahaman keadilan yang menentang individulisme dan liberalisme, yang berjiwa kekeluargaan dan gotong royong.” Juga percakapan penulis dengan alm. Prof. mr. R. Djokosoetono (satu-satunya pakar konstitusi tahun 1940-an) pada tahun 1963 menunjuk ke arah adanya konsep UUD. Beliau bercerita tentang seringnya Prof. mr. dr. Supomo berkonsultasi dengan beliau pada tahun 1940-an mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan rancangan UUD.
Selain itu melihat kandungan UUD 1945 terutama sistematika dan isinya yang walaupun dirumuskan pada tahun 1945 tetapi jangkauannya mencapai abad XXI ini, maka tidaklah mungkin dibuat secara serampangan. Kalau menggunakan kriteria yang digunakan Karl Loewenstein maka UUD 1945 termasuk konstitusi atau UUD yang original.
Sayang sekali bahwa mengenai masalah yang sangat penting ini tidak banyak orang yang mengetahuinya dan membicarakannya. Yang jelas, tidaklah mungkin BPUPKI melakukan pembahasan mengenai masalah penting ini dan menyelesaikan tugasnya tanpa adanya sebuah atau mungkin beberapa konsep UUD sebagai acuan.
Dapatlah disimpulkan bahwa UUD 1945 merupakan hasil pemikiran yang matang. Hanya perlu diperhatikan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang sedang dalam tahap awal perkembangannya sehingga tidaklah tepat untuk meninjaunya dari segi bahasa Indonesia sekarang.
Konstitusi Berdasarkan UUD 1945
Pertama-tama perlu dicatat bahwa UUD 1945 menggunakan istilah hukum dasar untuk konstitusi. Secara umum dapat dikatakan bahwa UUD adalah aturan-aturan mengenai dasar-dasar pengorganisasian negara. Lebih rinci lagi: semua ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma hukum yang memberikan bentuk kepada pemerintahan negara, yang mengatur hubungan antara negara dan warganegara dan yang mengakui beberapa hak-hak dasar daripada warga. Konstitusi tidak sama dengan UUD. Pengertian konstitusi adalah lebih luas. Konstitusi adalah hukum bersifat fundamental yang berkaitan dengan negara-negara yang meliputi aturan-aturan hukum dan asas-asas hukum.
Konstitusi Indonesia merupakan terjemahan atau penjabaran dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Jadi, sistem konstitusi dan struktur bangunan negara Republik Indonesia dibangun atas pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang disebutnya sebagai cita hukum. Konstitusi Indonesia terdiri dari tiga lapisan yaitu secara berturut-turut (1) lapisan pertama adalah UUD 1945 yang berlaku terus atau sifatnya agak langgeng, (2) lapisan kedua adalah garis-garis besar daripada haluan negara yang berlaku untuk waktu terbatas yang terdiri dari dua golongan, yaitu (a) undang-undang seperti UU Pemilihan Umum, UU tentang MPR, UU tentang DPR, UU tentang kepresidenan, UU Otonomi Daerah, UU tentang DPRD, dan lain sebagainya, dan (b) Peraturan-peraturan Tata Tertib dari MPR, DPR, Kepresidenan, DPA, MA, BPK. Jadi, sistem konstitusi Indonesia adalah unik. Konstitusinya sangat fleksibel, secara periodik dapat terjadi penyempurnaan konstitusi untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman tanpa perlu mengubah UUD itu sendiri. Yang diubah adalah lapis kedua dan lapis ketiga dari konstitusi.
Jadi, cita hukum yaitu pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan konstitusi dan bangunan negara Republik Indonesia.
Empat Pokok Pikiran
Dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka Romawi II disebut 4 pokok pikiran yaitu (1) persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya, (2) negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, (3) negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasar permusyawaratan perwakilan, dan (4) negara berdasarkan Ketuhanan YME.
Jika diteliti lebih lanjut, akan ternyata bahwa pokok-pokok pikiran itu hanya merupakan kandungan dari alinea ke-empat Pembukaan saja, hanya merupakan esensi pidato Bung Karno di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan kalimat-kalimat dalam Pembukaan merupakan hasil kesepakatan dari seluruh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang tercapai berkat kepemimpinan Bung Hatta dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Dalam pembukaan terdapat empat alinea. Jadi, tiga alinea yang lain itu sama sekali tidak disinggung dalam Penjelasan Umum tersebut, pada hal dalam ketiga alinea itu juga terkandung pokok-pokok pikiran yang tidak kurang pentingnya. Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kesatuan yang bulat sehingga keempat alinea tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pokok pikiran yang terkandung dalam alinea pertama adalah bahwa kemerdekaan itu adalah hak bangsa, yang mengandung arti bahwa negara adalah milik bangsa, adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi bahwa apabila timbul masalah mendasar yang menyangkut eksistensi dan kehidupan negara seperti perubahan UUD 1945 maka rakyat wajib diberitahu dan rakyat berhak untuk ikut bicara.
Alinea kedua mengandung pokok pikiran bahwa negara Indonesia Merdeka adalah produk sejarah dan merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat. Alinea kedua ini mengandung pesan agar generasi-generasi mendatang jangan sekali-sekali melupakan sejarah perjuangan bangsa. Konsekuensinya adalah bahwa sejarah perjuangan bangsa merupakan mata-pelajaran wajib untuk sekolah-sekolah Indonesia.
Pokok pikiran yang terkandung dalam alinea ketiga berhubungan erat dengan pokok-pokok pikiran dari alinea pertama, kedua, dan keempat. Khususnya pokok-pokok pikiran kedua dan keempat yang terdapat dalam alinea keempat seperti telah disebut di atas.
Perjuangan bangsa dan kemerdekaan bangsa dapat dicapai hanya berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Selanjutnya alinea ke-3 menggarisbawahi tekad dan keinginan rakyat Indonesia akan berkehidupan kebangsaan yang bebas. Alinea ke-3 membuktikan bahwa Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan kesatuan dengan UUD 1945 dan untuk penegakannya rakyat Indonesia bersedia mengorbankan segala-galanya.
Perlu kiranya dicatat bahwa dalam pokok pikiran ketiga yang terdapat alinea keempat Pembukaan terkandung ajaran kedaulatan yang dianut oleh UUD 1945. UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan terpadu yaitu perpaduan antara kedaulatan rakyat, kedaulatan bangsa, kedaulatan negara, kedaulatan Tuhan YME, kedaulatan hukum dan kedaulatan dalam lingkungan sendiri. Dengan catatan bahwa perpaduan itu berlandaskan rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu; kedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini lebih menggarisbawahi lagi bahwa negara adalah milik rakyat.
Berhubungan dengan Tugas MPR
Dalam Penjelasan diuraikan bahwa Batang Tubuh UUD 1945 merupakakn terjemahan atau perincian lebih lanjut dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan, yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak terlepas dari Pembukaan. Selanjutnya dikatakan bahwa UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintahan pusat dan lain-lain penyelenggara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Sedang aturan-aturan yang lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan mencabut.
Pasal 1 ayat 2 berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Dan pasal 3: MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Penjelasan Pasal 3 menambahkan bahwa mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun MPR memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendak dipakai untuk kemudian hari. Penjelasan Pasal 2 ayat 2 mengatakan bahwa badan yang akan besar jumlahnya bersidang sedikit-sedikitnya sekali dalam 5 tahun. Sedikit-sedikitnya, jadi kalau perlu dalam 5 tahun tentu boleh bersidang lebih dari sekali dengan mengadakan persidangan istimewa. Kalau hal ini dihubungkan dengan Penjelasan tentang Kedudukan DPR dimana dikatakan bahwa anggota-anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR, maka oleh karena itu DPR senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR maka MPR dapat diundang untuk menyelenggarakan persidangan istimewa meminta pertanggung jawab kepada Presiden.
Kesalahan MPR
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas kini jelaslah kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh MPR yang berkisar pada tidak diindahkannya pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. MPR telah melupakan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Kemungkinan MPR beranggapan bahwa dia telah mendapat kuasa penuh untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan berdasarkan kuasa itu MPR berwenang untuk menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara. Karena pemberian kuasa terjadi melalui UUD yaitu Pasal 1 ayat 2 maka kuasa itu tidak dapat ditarik kembali. Jadi, kedaulatan rakyat telah beralih kepada MPR sehingga dia berhak untuk bertindak semaunya. Dilupakan bahwa pemberian kuasa ini bukan bersifat perdata tetapi merupakan ketentuan hukum tata negara, sehingga tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum tata negara d.h.i. UUD 1945: Pasal 1 ayat 2 merupakan salah satu pelaksanaan pokok-pokok pikiran dari Pembukaan.
Jadi, ayat tersebut tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Pemilik negara adalah tetap rakyat sehingga MPR berkewajiban untuk memberitahukan kepada rakyat dan meminta persetujuannya apabila MPR hendak mengadakan perubahan pada UUD atau hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental. Dengan demikian perubahan-perubahan yang telah dilakukan oleh MPR selama ini adalah tidak sah.
Kalau MPR betul-betul hendak melaksanakan tugasnya berdasarkan UUD 1945, maka MPR pertama-tama seharusnya meneliti apa sebabnya negara kita begini kacau. Kalau diteliti secara seksama maka MPR akan mengetahui bahwa UUD 1945 tidak pernah dilaksanakan sebagaimana seharusnya menurut ketentuan-ketentuan dan petunjuk-petunjuk UUD 1945. Jadi, seharusnya MPR meneliti lapisan kedua dan ketiga dari konstitusi kita sebagaimana telah disebut di atas. Pertama-tama harus dikumpulkan semua ketetapan-ketetapan MPR yang telah dikeluarkan dan melakukan evaluasi terhadapnya. Kemudian ditinjau dan dievaluasi lapisan ketiga tadi, terutama undang-undang mengenai MPR, DPR dan mengenai lembaga kepresidenan. Pengaturan lembaga kepresidenan banyak yang masih kosong yang mengakibatkan kekurangjelasan sehingga memberikan peluang untuk terjadinya hal-hal yang tidak-tidak.
Itu saja sudah merupakan tugas yang berat. Ternyata hal-hal yang paling pokok itu belum dilaksanakan tetapi MPR telah melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Umpamanya, MPR telah mengubah status kepolisian negara kita dari alat pemerintah menjadi alat negara. Sepanjang pengetahuan penulis di negara manapun kepolisian adalah pembantu pemerintah. Kepolisian kita telah disamakan dengan angkatan perang meskipun dalam UUD 1945 secara jelas ditentukan bahwa hanya AD, AL, AU saja yang berstatus alat negara.. Status anggota kepolisian memang bisa dijadikan militer tetapi secara institusional kepolisian negara adalah alat pemerintah. Sebagai contoh, Royal Canadian Mounted Police dan carabinieri di Itali adalah alat pemerintah walaupun anggota-anggotanya adalah militer.
Kini MPR bertindak seolah-olah menjadi DPR yang kedua. Karena produk-produknya secara praktis adalah sama dengan undang-undang, baik dilihat dari bentuk dan sistematika maupun dari isinya. Padahal secara jelas UUD 1945 menyebut tugas MPR adalah membuat garis-garis besar daripada haluan negara. Membuatnya memang tidak gampang karena seperti dikatakan oleh UUD 1945 harus memperhatikan segala yang terjadi dan memperhatikan segala aliran pada waktu itu. Jadi, harus memonitor perkembangan yang dialami oleh negara dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya UUD 1945 mengatakan bahwa MPR bersidang sekali dalam lima tahun.
Jadi, garis-garis besar dari haluan negara yang dibuat itu sebagai lapisan kedua dari konstitusi mempunyai jangkauan minimal lima tahun. Untuk dapat menilai pelaksanaannya apakah tepat atau tidak memerlukan waktu yang panjang. Garis-garis besar haluan negara buatan MPR masih harus dibuatkan lagi undang-undangnya dan peraturan pelaksanaannya yang semua itu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Membuat suatu undang-undang tidak mudah karena harus memperhatikan segala aspek yang berhubungan, apalagi membuat garis-garis besar daripada haluan negara. Untuk itu MPR harus dibantu oleh bank data yang selengkap mungkin dan oleh tim ahli yang tetap. Kalau melihat ke negara lain akan diketahui bahwa parlemen semua negara mempunyai bank data dan tim yang demikian itu. Terlebih-lebih MPR yang mengemban tugas yang jauh lebih berat dari parlemen-parlemen itu.
Salah satu wacana yang sering muncul dalam pelbagai diskursus pada era reformasi ini ialah tentang kemungkinan perubahan UndangUndang Dasar (UUD) 1945. Pada masa Orde Baru, wacana semacam ini sangat jarang dilakukan di muka umum, karena dapat terkena ketentuan Undang-Undang (UU) No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang sekarang sudah dicabut. Salah seorang Menteri yang sangat berpengaruh pada masa tersebut, bahkan pernah menyatakan bahwa jika ada yang bermaksud untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945, maka ia harus Dua pidato Presiden Soeharto tanpa teks di awal era 1980-an yang juga menyinggung mengenai hal tersebut bahkan mendapatkan perlawanan dari Petisi 50. Namun pidato tersebut kemudian bahkan mendapatkan dasar hukum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) No. IV/MPR/1983 dan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum yang pada saat ini juga telah dicabut. Padahal, dalam perspektif sejarah UUD 1945 tersebut sebenarnya memang dimaksudkan untuk bersifat sementara. Hal ini tampak dalam pidato Ketua PPKI Soekarno tanggal 18 Agustus 1945 sebagaimana dikutip di muka. Bahkan kemudian, pidato anggota PPKI Iwa Koesoema Soemantri juga mengemukakan perlunya suatu pasal yang mengatur mengenai perubahan UUD. Selanjutnya kesementaraan sifat UUD 1945 tersebut juga ditegaskan secara implisit dalam Aturan Tambahan UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: (1) dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD ini; (2) dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD. Walaupun ketentuan tersebut kemudian tidak terlaksana, namun penegasan bahwa MPR - yang seharusnya telah dibentuk selambat-lambatnya enam bulan sesudah berakhirnya Permits Asia Timur Raya harus bersidang untuk menetapkan UUD dalam enam bulan sesudah ia dibentuk, menegaskan secara implisit bahwa UUD 1945 adalah bersifat sementara. Rekonstruksi Penetapan Pasal 37 UUD 1945 Sebagaimana dikutip di muka, meskipun Ketua PPKI Soekarno telah menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan UUD yang bersifat sementara, suatu UUD kilat, revolutie grondwet, namun anggota PPKI yang dapat dianggap pertama-tama mengemukakan perlunya eksistensi suatu pasal yang secara khusus mengenai hal ini ialah Iwa Koesoema Soemantri. Usulan Iwa tersebut kemudian disambut oleh anggota PPKI lainnya, Soepomo, yang menyatakan bahwa dalam (Rancangan) UUD 1945 tersebut memang harus ada Bab XVI, tentang perubahan UUD. Soepomo pun kemudian mengusulkan adanya dua ayat yang isinya sama dengan Pasal 37 UUD 1945 pada saat ini, yakni sebagai berikut (1) bahwa untuk mengubah UUD, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota harus hadir; (2) bahwa putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada yang hadir.4 Pembicaraan tersebut muncul dalam sesi setelah rapat pada tanggal 18 Agustus 1945 rehat sekitar 15 menit, yakni sekitar pukul 11:04 - 11:16 WIB. Namun pembicaraan tersebut kemudian disela oleh Soekarno, dengan menyatakan bahwa hal tersebut akan dibahas kemudian. Sejarah menunjukkan bahwa, pada saat itu Soekarno kemudian memfokuskan pembicaraan pada hal-hal yang berhubungan dengan algemene Geest. Perdebatan mengenai hal itu muncul kembali pada penghujung pembahasan Rancangan UUD 1945. Beberapa anggota PPKI yang tercatat berbicara dalam kesempatan tersebut ialah: Soekarno, Soepomo, Ahmad Soebardjo, dan Ki Hadjar Dewantara. Anggota Soebardjo setuju dengan rancangan ayat (1), namun untuk rancangan ayat (2), beliau keberatan, dengan alasan bahwa dalam praktek hal itu bisa menyebabkan diktatur. Menurut beliau, sebaiknya rumusan ayat (2) tersebut diganti dengan “suara yang terbanyak” saja, karena adanya hasrat untuk merubah sudah merupakan jaminan yang baik.5 Soekarno juga berpendapat bahwa jika disebut 2/3 akan menimbulkan minderholdsprobleem, namun beliau juga tidak setuju jika ditentukan dengan suara terbanyak, karena jika demikian maka ketentuan ini harus dibuang, sebab sudah ada kalimat dalam rancangan yang menyatakan "semua dengan suara yang terbanyak. Maksud Soekarno di sini ialah rancangan yang kini Pasal 2 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak, yang dapat dipandang sebagai lex generalis dari segala ketentuan yang mengatur mengenai tata cara MPR menetapkan putusannya. Namun demikian pada akhirnya, dengan dukungan anggota PPKI Ki Bagoes Hadikoesoemo, yang memandang bahwa perubahan UUD adalah soal yang begitu penting sehingga diperlukan persetujuan 2/3 anggota, maka kemudian dengan dukungan suara 16 anggota PPKI, disepakatilah rumusan Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana yang kita kenal saat ini, yaitu bahwa untuk mengubah UUD 1945 diperlukan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumiah anggota yang hadir. Perubahan UUD 1945 dalam Praktek Ketatanegaraan Menurut ahli hukum tata negara Harun Alrasid, dalam praktek ketatanegaraan masa Orde Lama dan Orde Baru sudah beberapa kali terjadi perubahan UUD “buiten de grondwet”6 (di luar UUD) sebagai berikut. 1. Adanya penambahan kriteria telah berusia 40 tahun bagi Presiden maupun Wakil Presiden dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yang merubah Pasal 6 UUD 1945; 2. Dengan diutamakannya tata cara pengambilan keputusan dengan musyawarah untuk mufakat dalam Ketetapan MPR No.I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, yang merubah Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak; 3. Dengan ditetapkannya wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, yang merubah Pasal 8 UUD 1945; 4. Sehubungan dengan kekosongan hukum dalam UUD 1945 tentang pengisian jabatan Wakil Presiden, maka melalui Ketetapan MPR No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan, MPR telah mengubah UU.D 1945 dengan membuat ketentuan Pasal 4 ayat (1) sebagai berikut:8 Dalam hal Wakil Presiden berhalangan tetap, maka MPR mengadakan Sidang Istimewa Khusus untuk memilih dan mengangkat Wakil Presiden apabila Presiden dan/atau DPR memintanya. Masuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)-yang sebelumnya bernama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) - ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) - yang sebelumnya bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) - telah merubah ketentuan Pasal 10 UUD 1945. Disamping beberapa macam perubahan tersebut, penulis juga mencatat adanya perubahan UUD 1945 dalam praktek yang juga terjadi pada Era Reformasi sebagai berikut: 1. Munculnya tugas dan kewenangan khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam rangka penyuksesan dan pengamanan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam Sidang Umum MPR 1973, 1978, 1983, 1988,dan 1998, merubah ketentuan-ketentuan tentang tugas dan wewenang Presiden dalam. UUD 1945; 2.. Adanya Menteri-menteri yang tidak memimpin departemen seperti: Menteri Koordinator, Menteri Negara, den Menteri Nude dalam beberapa Kabinet Perabangunan di masa orde Baru, telah merubah Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pare Menteri memimpin departemen pemerintahan; 3. Munculnya Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 dan UU No. 5 Tahun 1985, merubah Pasal 37 UUD 1945 tentang tata cara perubahan UUD; 4. Ditetapkannya Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, merubah Pasal 7 UUD 1945. Sembilan contoh di atas adalah sebagian dari contoh-contoh praktek ketatanegaraan pada mesa Orde Lama, Orde Baru, den Era Reformasi. Contoh-contoh tersebut telah cukup untuk menunjukkan bahwa dalam UUD 1945 telah mengalami berbagai perubahan dalam praktek ketatanegaraan. Afternatif Perubahan UUD 1945 Dalam perspektif teori hukum tata negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui pola Belanda, yakni dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan, dan pola Amerika Serikat (AS), yakni dalam bentuk amandemen yang dilampirkan pada Konstitusi AS. Perubahan- perubahan dimaksudkan agar UUD merupakan UUD yang hidup (a living constitution). Jika penetapan UUD sifatnya einmahlig (hanya dilakukan satu kali), maka perubahan UUD seharusnya justru bersifat mehrmalig (dapat dilakukan beberapa kali). Di AS misalnya, perubahan (amandemen) Konstitusi (constitutional amendment) telah dilakukan 27 kali dalam tempo 209 tahun (1787 - 1996). Dengan demikian, hampir delapan tahun sekali dilakukan amandemen Konstitusi AS.9 Di Australia misalnya, isu perubahan Konstitusi Australia sangat mengemuka pada tahun 1995. Dalam rangka memperingati 20 tahun pemecatan (dismissal) Perdana Menteri (PM) Gough Whitlam oleh Gubernur Jenderal Sir John Kerr pada tanggal 11 Nopember 1975, Centre for International and Public Law, Faculty of Law, Australian National University di Canberra menggelar dua konferensi, yang salah satunya bertajuk "The Cauldron of Constitutional Change". Menurut wartawan senior Australia Paul Kelly, yang secara khusus menerbitkan buku dalan rangka peringatan pemecatan tersebut, peristiwa tahun 1975 tersebut merupakan suatu peperangan kekuasaan dalam konteks konvensi politik (political convention) versus ketentuan Konstitusi (constitutional provision). Namun esensi sebenarnya bersifat pribadi, yakni pertarungan antara Gough Whitlam, Malcolm Fraser, dan Sir John Kerr dari Australian Labor Party dan Liberal Party, dan Country Party. Section 1 dan terutama Section 2 Konstitusi Australia, yang menjadi dasar pemecatan ini, antara lain menegaskan bahwa: (1) a Federal Parliament which shall consist of the Queen, a Senate, and a House of Representatives dan (2) a Governor-General appointed by the Queen shall be Her Majesty's representative in the Commonwealth.. K etentuan ini dianggap memberikan kewenangan hukum bagi Gubernur Jenderal untuk memberhentikan PM Australia.10 Salah satu isu yang perubahan Konstitusi Australia yang mengemuka pada tahun 1995 ialah mengenai perubahan bentuk negara dari monarki menjadi republik. Tuntutan ini dikenal dengan gerakan "republicanism". Sebagaimana diketahui, Australia pada saat ini berbentuk monarki konstitusional. Ratu Elizabeth II adalah Kepala Negara. Walaupun pada saat ini ia berkedudukan sebagai Ratu Australia (The Queen of Australia), sebagaimana ditetapkan dalam Commonwealth Legislation pada tahun 1973. Kedudukannya sebagai Ratu tersebut tidak memiliki fungsi bagi Australia, kecuali yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian wakil-wakilnya. Hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya "republicanism" tersebut.11 Di Indonesia, Era "Reformasi" ini harus kita jaga momentumnya, agar kecenderungan timbulnya semangat "monarchyism" pada masa yang lalu yang masih belum terkubur hingga kini dapat kita kikis habis. Pembe,rlakuan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum merupakan 11pemberlakuan kembali" Pasal 37 UUD 194 ' 5.. Berdasarkan landasan itulah kita merancang perubahan UUD 1945. Perubahan yang dilakukan dapat mencakup keseluruhan aspek, mulai dari aspek bentuk dan kedaulatan negara, kelembagaan (tinggi dan tertinggi) negara, kekuasaan pemerintahan negara (termasuk di dalamnya tentang sistem pexerintahan), pemerintahan daerah, keuangan negara, dan berbagai aspek lainnya, termasuk tentang tata cara perubahan UUD. Dari sisi pelaksanaan pemilu 1999 yang mengarah ke sistem multipartai misalnya, dari sisi sistem pemerintahan sebenarnya lebih tepat jika dipergunakan sistem parlementer daripada sistem koalisi-presidensil. Sistem semacam. ini pernah diterapkan pada Masa- masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Dasar yang dipergunakan pada saat itu ialah konvensi ketatanegaraan.12 Namun untuk saat ini, khususnya pasca pemilu 1999, hal semacam itu tidak dapat lagi diterapkan tanpa mengubah UUD 1945. Pada tahun 1945, hal itu diterapkan di antaranya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945. Namun untuk saat ini, MPR, DPR, dan DPA telah terbentuk, sehingga satu-satunya cara untuk menerapkan sistem parlementer ialah dengan mengubah UUD 1945, baik dengan sistem, Belanda ataupun sistem AS. Perubahan Pertama UUD 1945 Cita-cita untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 akhirnya terwujud dalam Sidang Umun. MPR pada bulan Oktober 1999. Pada tanggal 19 Oktober 1999, MPR menetapkan 11 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194511, yang mengubah Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21 UUD 1945. Beberapa aspek penting dari perubahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penegasan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR (Pasal 5 ayat (1); 2. Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menjabat sebanyak-banyaknya dalam 2 (dua) kali masa jabatan; 3. Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (Pasal 9 ayat (2)); 4. Dalam hal mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 13 ayat (2) dan (3)); 5. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat UUD 1945) 6. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2)); 7. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 17 ayat (3)); 8. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (Pasal 21). Perubahan Pertama ini akan diikuti deng4n perubahan-perubahan berikutnya. Hal ini nampak dengan penegasan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang 11Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan agar Badan Pekerja MPR mempersiapkan rancangan termaksud untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus 2000.
- Undang-Undang Dasar 1945UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuan-ketentuan lainnya.
- Ketetapan MPRDalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
- Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undangUndang-undang mengandung dua pengertian, yaitu :a. undang-undang dalam arti materiel : peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.b. undang-undang dalam arti formal : keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
- Peraturan PemerintahUntuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.- Keputusan PresidenUUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.
- Peraturan pelaksana lainnyaYang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
- Convention (Konvensi Ketatanegaraan)Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
- TraktatTraktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita amati praktek perjanjian internasional bebrapa negara ada yang dilakukan 3 (tiga) tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Disamping itu ada pula yang dilakukan hanya dua tahapan, yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature).
Kelembagaan Negara Berdasarkan UUD 19451. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)2. Presiden dan Wakil Presiden3. Dewan Pertimbangan Agung (DPA)4. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)6. Mahkamah Agung (MA)
HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN UUD 1945Hubungan antara MPR - PresidenMPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengangkat presiden. Dalam menjalankan tugas pokok dalam bidang eksekutif (pasal 4(1)) presiden tidak hanya menyelenggarakan pemerintahan negara yang garis-garis besarnya telah ditentukan oleh MPR saja, akan tetapi termasuk juga membuat rencana penyelenggaraan pemerintahan negara. Demikian juga presiden dalam bidang legislatif dijalankan bersama-sama dengan DPR (pasal 5)
Hubungan antara MPR - DPR
Melalui wewenang DPR, MPR mengemudikan pembuatan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya agar undang-undang dan peraturan-peraturan itu sesuai dengan UUD. Melalui wewenang DPR ia juga menilai dan mengawasi wewenang lembaga-lembaga lainnya.
Hubungan DPR - Presiden
Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB maka didalam pelaksanaan DPR berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah. Pengawasan DPR terhadap Presiden adalah suatu konsekwensi yang wajar, yang mengandung arti bahwa presiden bertanggung jawab kepada DPR.Bentuk kerjasama antara presiden dengan DPR diartikan bahwa Presiden tidak boleh mengingkari partner legislatifnya.Hubungan antara DPR - Menteri-menteri
Menteri tidak dapat dijatuhkan dan diberhentikan oleh DPR, tapi konsekuensi dari tugas dan kedudukannya, Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR, para Menteri juga dari pada keberatan-keberatan DPR yang dapat mengakibatkan diberhentikannya Menteri.
Hubungan antara Presiden - Menteri-menteri
Mereka adalah pembantu presiden. Menteri mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang menyangkut departemennya. Dalam praktek pemerintahan, Presiden melimpahkan sebagian wewenang kepada menteri-menteri yang berbentuk presidium.
Hubungan antara MA - Lembaga Negara lainnya
Dalam Penjelasan UUD 45 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun kekuasaan atau kekuatan lainnya.
Sistem pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam UUD 1945 beserta Penjelasannya yaitu :a. Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat);Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).Mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
b. Sistem Konstitusional, yang berarti bahwa pemerintahan berdasar atas sistem Konstitusi (Hukum Dasar); jadi tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas (absolutismus);Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti garis besar haluan negara, undang-undang dan sebagainya.
c. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalnnya negara dan bangsa, yaitu berupa :
- menetapkan undang-undang dasar;- menetapkan garis-garis besar dari haluan negara;- mengangkat presiden dan wakil presidend. Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR;Penjelasan UUD 1945 menyatakan :"Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President". Oleh karena itu presiden adalah mandataris MPR, presidenlah yang memegang tanggung jawab atas jalnnya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan tanggung jawab itu adalah kepada MPR bukan kepada badan lain.
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);Menurut sistem pemerintahan, presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR tetapi presiden bekerja sama dengan dewan. Dalam hal pembuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara presiden harus mendapatkan persetujuan DPR.
f. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR;Pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri negara sepenuhnya wewenang presiden. Menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas, karena Kepala Negara harus bertanggung jawab kepada MPR dan kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR;Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :"Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Kunci sistem ini bahwa kekuasaan presiden tidak tak terbatas ditekankan lagi dalam kunci sistem yang ke 2 sistem Pemerintahan Konstitusional, bukan bersifat absolut dengan menunjukkan fungsi/peranan DPR dan fungsi/peranan para menteri, yang dapat mencegah kemungkinan kemerosotan pemerintahan di tangan presiden ke arah kekuasaan mutlak (absolutisme).
Adapun yang dimaksud dengan UUD 1945 ialah Konstitusi Republik Indonesia yang pertama yang terdiri dari :a. Pembukaan, meliputi 4 alineab. Batang Tubuh atau Isi UUD 1945 meliputi: 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahanc. Penjelasan resmi UUD 1945
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945
Adapun UUD 1945 RI antara lain memuat Bab III yang berjudul : Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III ini terdiri dari 12 pasal, yaitu pasal 4 sampai dengan pasal 15.Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : Presiden Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang Dasar; Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.Pasal 5 menentukan : bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden menetapkan Peraturan Pemeritah untuk menjalankan Undang-undang sebagai mana semestinya. Kemudian menyusul pasal 6 sampai pasal 15.
Kemudian terdapat Bab V yang hanya mempunyai 1 pasal tentang Kementerian Negara. Selanjutnya ada Bab VII dari pasal 19 sampai 22 tentang DPR. Kemudian ada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 24 dan 25.
Dari bab-bab diatas ternyata UUD 1945 tidak membedakan dengan tegas tugas antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yidikatif seperti Montesquieu dengan Trias Politicanya.
Malahan Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara meliputi kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, termasuk hak-hak prerogatif. Selanjutnya kekuasaan legislatif diatur juga dalam Bab VII mengenai DPR, sedangkan kekuasaan eksekutif juga pada Bab V mengenai Kementerian Negara.
Setelah lama menjadi kontroversi, akhirnya pemerintah memutuskanakan mencabut Undang-Undang (UU) Subversi. Keputusan itu disampaikanMenteri Kehakiman Muladi, S.H. dalam rapat paripurna DPR yang dipimpinWakil Ketua DPR/MPR Ismail Hasan Metareum di Jakarta, Rabu (31/3)..Pencabutan UU Subversi itu dilakukan pemerintah dengan mengajukanRancangan Undang-Undang Tentang Pencabutan UU No 11/PNPS/1963 tentangPemberantasan kegiatan Subversi ke DPR. Alasan pencabutan itu, kataMuladi selain tidak sesuai dengan UUD 1945, substansi maupun penjelasanUU Subversi itu tidak lagi punya memiliki basis hukum yang kuat."Legal spirit yang melatarbelakanginya sudah mengalami perubahantotal," tandasnya.. Menurut mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip)itu, legal spirit yang mendasari lahirnya UU Subversi adalah ketetapan(Tap) MPRS No I/MPRS/1960 tentang Manipol sebagai GBHN dan Tap MPRS NoII/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional SemestaBerencana Tahapan Pertama 1961-1969. Semua Tap MPR tersebut sudahdicabut pada masa Orde Baru.Selain itu, lanjutnya, tujuan dikeluarkannya Penetapan Presiden (PNPS) ituadalah demi kepentingan revolusi dan masyarakat sosialis Indonesia yangtidak sesuai dengan jiwa dan amanat UUD 1945. Rumusan norma yangterkandung dalam penetapan presiden itu sangat elastis, antara lainpenyebutan kata "merongrong" yang sangat bermakna mutidimensi, sehinggadapat menjerat siapa saja maupun di mana saja yang dianggap "merongrong""negara. Muladi menjelaskan bahwa pencabutan UU Subversi itu sejalandengan tuntutan reformasi. Yakni untuk menghapuskan atau menggantiberbagai peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsiphukum umum yang seharusnya dihormati sebagai pengendali konsistensipengaturan.Mantan anggota Komnas HAM ini menjelaskan pencabutan UU Subversiitu didasarkan atas Tap X/MPR/1998 hasil Sidang Istimewa MPR tentangPokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan danNormalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.Sebagai kompensasi pencabutan itu, pemerintah mengajukan PerubahanKitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan Kejahatanterhadap Keamanan Negara. "Perubahan yang akan dilakukan adalah denganmelakukan penambahan pasal baru yang akan disisipkan di antara Pasal 107dan Pasal 108 KUHP," jelasnya. Perubahan itu berupa penyisipan enampasal. Pasal tersebut, yakni Pasal 107A (tentang upaya menggantikanPancasila), Pasal 107B (mempropagandakan paham Marxisme, Leninisme, danKomunisme/MLK), Pasal 107C (memperopagandakan paham MLK yang menimbulkankorban jiwa), Pasal 107D (propaganda MLK untuk mengubah Pancasila),Pasal 107E (organisasi yang berhubungan dan menerima bantuan dariorganisasi berpaham MLK), dan Pasal 107F (tentang sabotase).Menurut Muladi, meski UU No 11/PNPS/1963 itu akan dicabut, tidak perludikhawatirkanterjadi kekosongan peraturan, terutama yang terkait dengan beberapasubstansi yang diatur dalam UU Subversi, misalnya tentang sabotase."Karena substansi tersebut ditampung dalam RUU Perubahan KUHP yangberkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Diajukannya RUUPerubahan KUHP ini, kata Muladi, merupakan suatu bukti dari perjuanganuntuk meningkatkan promosi hak asasi manusia (HAM), sekaligusmenindaklanjutinya.Usulan inipun, tambah Muladi, sebagai konsekuensi logis dari pencabutanUU Subversi tersebut.Pencabutan UU Subversi dan Perubahan KUHP ini, dipandang dari sisi penegakanhukum dan tuntutan reformasi memang suatu kemajuan. Namun, ada beberapacatatan yuridis dan politis yang patut dipertimbangkan oleh pemerintahdan DPR. Terutama menyangkut resiko yang mungkin terjadi pascapencabutan UU warisan Orde Lama ini.Sebagaimana diketahui bersama, bahwa UU No 11/PNPS/1963 itu dibuat dalamsituasi negara sedang darurat. Ketika itu Indonesia sedang mengalamikrisis politik berkepanjangan sejak dibubarkannya Konstituante danberlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia. Karena alasan daruratpulalah –berkaitan dengan pemberontakan G30S/PKI- pemerintah Orde Barukemudian mempertahankan UU itu, meskipun dasar hukumnya yaitu Tap MPRSNo 1/1960 sudah dicabut.Ahli Hukum Tata Negara terkemuka, Prof. Ismail Suny, yang ketika itu anggotaMPRS, adalah orang yang mengusulkan agar UU tersebut dipertahankan.Alasan Suny, UU ini adalah alat bagi negara untuk mempertahankan dirinyadari gangguan.Dengan pencabutan UU Subversi itu, apakah sudah ada jaminan negara tidakakan menghadapi keadaan darurat. Keadaan darurat ini berarti luas,berkaitan dengan segala bentuk ancaman terhadap keselamatan dan keamanannegara. Meskipun ketentuan tentang keamanan negara itu kemudian diadopsikedalam KUHP, namun apakah KUHP cukup memadai untuk menghadapi keadaandarurat?Bila dasar pencabutan UU Subversi itu merupakan amanat Tap No X/MPR/1998,bukankah Tap MPR itu menetapkan pemerintah harus mengajukan RUU mengenaiKeselamatan dan Keamanan Negara sebagai penggantinya? Ide ini mengacupada contoh pengalaman banyak negara, seperti Malaysia dan Singapurayang memiliki Internal Security Act. Alih-alih mengajukan RUU Keselamatandan Keamanan negara, pemerintah malah mengajukan RUU Perubahan KUHP.Tidakkah ini justru mengabaikan amanat lain dalam Tap No X/MPR/1998 itu.

Menlu Hassan soal Penahanan WN Malaysia:Itu Tak Berhubungan dengan Kasus TKI
Jakarta, Kompas
Peristiwa penahanan warga negara (WN) Malaysia selama beberapa jam di Medan, Sumatera Utara, merupakan peristiwa yang terpisah dari kasus pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia. Penahanan itu dilakukan karena WN Malaysia tersebut tidak membawa kartu pengenal dan kasus tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai perwujudan balas dendam dari sebagian rakyat Indonesia.
Karena itu, menyangkut travel warning yang dikeluarkan Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia-agar WN Malaysia tidak bertandang ke Indonesia-Indonesia memberikan jaminan bahwa mereka tidak perlu khawatir.
Demikian keterangan yang diberikan Menlu Hassan Wirajuda dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Jenderal (Pol) Dai Bachtiar usai Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) di Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Jakarta, Selasa (27/8).
Hassan Wirajuda berharap agar pemerintah maupun rakyat Indonesia bisa menahan diri dan tidak mudah terpancing secara emosional. Imbauan yang sama juga berlaku bagi Malaysia. "Kita harus mengambil tindakan secara proporsional mengingat masalah pokoknya, yakni penanganan TKI tanpa izin yang ada di Malaysia, sudah ada kerja sama baik antarpemerintah," katanya.
Dari 480.000 TKI tanpa izin di Malaysia, sebagian besar sudah pulang tanpa banyak persoalan. Hassan berharap, jangan sampai penanganan sisanya yang hanya sekitar 25 persen dari 480.000 TKI justru menimbulkan persoalan.
Ditanya soal aksi pembakaran bendera oleh Laskar Merah Putih, Hassan tidak yakin bahwa yang dibakar itu adalah bendera Malaysia. Menurut dia, kemerdekaan menyatakan pendapat memang dijamin oleh undang-undang, namun memperlakukan secara buruk atribut kedaulatan negara Indonesia atau negara asing merupakan tindak pidana.
Sementara itu, Dai Bachtiar yang menghubungi wartawan di Kantor Menko Polkam memberikan penjelasan bahwa razia yang dilakukan di Medan berkaitan dengan disinyalirnya kegiatan tertutup dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Terhadap gerakan tertutup GAM ini, tentunya pihak kepolisian harus melakukan tindakan preventif berupa razia di tempat hiburan ataupun tempat-tempat lainnya.
Pada waktu itu dilakukan razia di Hotel Toba, di mana ada beberapa warga negara asing, seperti Singapura, Malaysia, dan Sri Lanka. Dalam razia tersebut ternyata terdapat 12 WN Malaysia yang tidak membawa identitas. Mereka kemudian dibawa ke kantor Poltabes Medan. Setelah diperiksa dan kemudian mereka dapat menunjukkan paspor, sebelum pukul 04.00, mereka sudah dikembalikan ke tempat masing-masing.
Duduk bersama
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais menyatakan, sebaiknya Pemerintah Indonesia dan Malaysia duduk bersama untuk menyelesaikan masalah antarkedua negara sebelum perselisihan mengarah pada upaya tindakan yang sepadan (retaliasi) akibat tindakan Malaysia. Tindakan retaliasi itu justru akan memperburuk hubungan kedua negara.
"Karena itu, sebelum terlalu terlambat, alangkah baiknya Jakarta dan Kuala Lumpur duduk bersama, toh kita bangsa serumpun, bangsa tetangga yang sesungguhnya sudah bagus setelah Ganyang Malaysia tahun 1960-an itu. Jangan sampai ada slogan Ganyang Malaysia lagi," kata Amien Rais menjawab pertanyaan pers di Gedung MPR/DPR, Selasa.
Amien Rais lebih lanjut mengatakan bahwa sebaiknya kedua negara melakukan koreksi terhadap diri masing-masing. Indonesia salah karena telah membiarkan perusahaan-perusahaan tenaga kerja mengekspor imigran gelap secara kelewatan sehingga ada ratusan ribu imigran gelap Indonesia di Malaysia. "Jadi, kita perlu menegur perusahaan pengekspor anak-anak bangsa itu ke negara jiran," ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Komisi VII DPR Posma Lumban Tobing (Fraksi TNI/ Polri), Wakil Ketua Komisi VII Sanoesi Tambunan (Fraksi Reformasi), dan Ketua Subkomisi Ketenagakerjaan Komisi VII Rekso Ageng Herman (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menyatakan bahwa tindakan Pemerintah Malaysia mengingatkan warganya ke Indonesia itu tidak beralasan.
Adanya unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta adalah hal yang wajar saja. Hal itu tidak dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang mengancam keselamatan rakyat Malaysia di Indonesia.
Jangan serang Malaysia
Berbagai pernyataan pejabat Indonesia menyangkut masalah TKI di Malaysia ditanggapi oleh para pekerja itu dengan harapan agar pejabat tidak lagi memberikan pernyataan atau tindakan yang bernada menyerang Pemerintah Malaysia. "Kalau di Indonesia ada kejadian yang seperti itu, kami di sini yang menerima getahnya," ujar Mohamad Bakri, TKI asal Madura yang bekerja di Subangjaya, Selangor (Malaysia), Selasa.
Ditemui rombongan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR di kawasan Subangjaya, Bakri menambahkan, ketika ada pernyataan cukup keras dari pejabat Indonesia, para TKI didatangi petugas. "Padahal, kami datang ke sini lewat cara yang sah, tetapi masih ditanyai macam-macam soal TKI, bahkan termasuk keberadaan teman kami yang katanya ilegal," tambah Bakri, yang bekerja sebagai petugas cleaning service di Bandara Subangjaya.
Adanya pembakaran bendera, kata Mislachuddin, makin memanaskan situasi yang makin rumit sehingga TKI yang sudah susah semakin susah. "Kemarahan pemerintah dan rakyat Malaysia akan berdampak langsung pada warga kita di sini," ujar pria asal Sidoarjo ini.
Ketua F-KB DPR Rodjil Gufron berkunjung ke kelompok TKI legal asal Bawean di kawasan Gombak, Kuala Lumpur. Rodjil meminta mereka membantu TKI ilegal yang sekarang menghadapi masalah. "Kami tidak bisa membantu lebih banyak karena aparat kedutaan tidak pro-aktif menangani masalah TKI ilegal ini," ujar Ustadz Yazid, tokoh masyarakat Bawean di Malaysia.
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) - MPR RI melayangkan undangan bernomor DN860/141/DPD/V/2007 tanggal 30 Mei 2007 kepada Ketua IAGI untuk permintaan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) soal bencana LUSI (Lumpur Sidoarjo). DPD RI telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) soal LUSI dan telah mengadakan studi/kunjungan lapangan ke lokasi bencana. Pansus ini dibentuk untuk mencermati perkembangan dampak bencana LUSI pada masyarakat sekitar dan perkembangan penanganannya serta perspektif solusi/rekomendasi pada konteks upaya penanggulangan semburan lumpur dan penanganan luapan lumpur. Rapat diadakan pada hari Rabu 6 Juni 2007 di Ruang Rapat Badan Kehormatan Lantai 3 Gedung B DPD RI di Kompleks Gedung MPR, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. Rapat berlangsung dari pukul 13.00-16..00. IAGI diwakili oleh : Achmad Luthfi (Presiden IAGI), Ridwan Djamaluddin (SekJen IAGI), Edy Sunardi (Ketua Bidang Keilmuan IAGI sekaligus Ketua Tim LUSI IAGI), Slamet Riadhi (Ketua Bidang Migas IAGI), Elan Biantoro (PP IAGI), Kodir (Sekretariat IAGI), Awang Satyana (PP IAGI). Rapat dibuka, domoderatori, dan diberi pengantar oleh Set Jen DPD-RI. Dikatakan bahwa Pansus LUSI DPD-RI baru saja kembali dari kunjungan ke wilayah Sidoarjo untuk melihat dampak sosial LUSI. "Rakyat sudah marah", katanya. "Bayangkan, dari 13.000 bidang tanah dan 9000 bidang bangunan yang terendam LUSI, baru bisa diverifikasi 522 bidang di antaranya (verifikasi = mengecek kelengkapan administrasi bidang tanah dan bangunan), dan dari 522 bidang ter-verifikasi, baru 219 bidang yang sudah dilakukan penggantiannya oleh PT Minara, sebuah PT yang ditunjuk PT Lapindo untuk keperluan ganti rugi. PT Lapindo Brantas tak mampu melakukan urusan ganti rugi ini. Melihat skalanya yang begitu luas, di mana enam desa telah tenggelam dan mengorbankan 10.800 keluarga, kami sependapat bahwa ini adalah bencana alam, dan sebuah bencana alam tentu menuntut Pemerintah untuk menanganinya secara serius, apalagi di lapangan kami melihat bahwa PT Lapindo tak mampu menyelesaikannya" , begitu dikatakan ketua rapat dari DPD-RI. "Juga, kami melihat bahwa TimNas bentukan Pemerintah telah gagal dalam menangani LUSI", begitu ditambahkannya. Di Sidoarjo, Pansus LUSI DPD-RI juga bertemu dengan BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo), yang menurut kesimpulan Pansus belum jelas program-program penanggulangan yang akan dilakukannya. Untuk itu, Pansus LUSI DPD-RI memutuskan membuka kembali kasus LUSI sejak awal, yaitu sejak hari-hari pertama mulai terjadinya bencana. IAGI, yang diyakini DPD-RI adalah organisasi yang paling mengetahui duduk perkara bawah permukaan LUSI, kemudian dibidik untuk memberikan keterangan. Pak Luthfi membuka keterangan IAGI dengan mengatakan bahwa IAGI mendapatkan kehormatan yang tinggi diundang untuk memberikan keterangan sebab inilah kali pertama IAGI secara resmi dimintai keterangan oleh badan legislatif negeri ini. Sangat lucu sebenarnya, mengapa IAGI selama ini tidak diprioritaskan untuk dimintai keterangan, dan baru dimintai keterangan setelah bencana berlangsung hampir 13 bulan. Dan, Pemerintah kelihatan sangat ragu untuk meminta keterangan resmi dari IAGI seputar kasus LUSI. Pemerintah (Pusat dan Daerah) lebih memilih mengakomodasi keterangan-keterangan dari pihak lain di luar IAGI bahkan "paranormal" sekalipun. Kalau saja IAGI sudah diakomodasi dari awal, barangkali penanganan LUSI tidak perlu berlarur-larut, trial and error dengan berbagai metode yang sudah menghabiskan biaya puluhan juta US dollar, dll. Semuanya bermula dari bawah permukaan sebab kasus LUSI adalah kasus bawah permukaan, maka sangat lucu dan percuma kalau mengatasi LUSI tidak mengindahkan kondisi-kondisi bawah permukaaan. Begitu pembukaan dari Pak Luthfi. Pak Luthfi pun mengakui bahwa ada perbedaan pendapat seputar kasus penyebab LUSI. Ada yang bilang : "underground blow out", "mud volcano eruption yang dipicu gejala tektonik" dan "fenomena geothermal". Sampai sekarang pun perbedaan pendapat masih terjadi. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan detail Pak Edy Sunardi tentang hasil studi geologi dan geofisika soal LUSI. Presentasi ini pernah disampaikan di beberapa kesempatan, tetapi diperbaharui dengan data terakhir yang berhasil dikumpulkan. Seperti yang disampaikan dalam beberapa publikasi di media massa dan forum-forum seminar LUSI, kesimpulan resmi tim LUSI IAGi yang beranggotakan : Dr. Edy Sunardi (geologist), Dr. Syamsu Alam (geophysicist), Dr. Agus Guntoro (structural geologist), Dr. Arief Rachmansyah (geologist), Arief Budiman (operation geologist), Soffian Hadi (geologist), dan Mipi Ananta Kusuma (geodetic engineer) adalah tetap sama, yaitu : (1) semburan LUSI hampir tidak bisa dimatikan dan akan berlangsung dalam waktu relatif lama , bila bisa dimatikan di tempat semburan sekarang akan muncul di tempat lain sekitarnya, (2) lumpur agar dialirkan ke laut daripada ditanggul sebab lumpur ini bukan limbah bukan barang berbahaya berdasarkan analisis kimiawi, (3) agar dilakukan re-lokasi penduduk secara permanen. Apa penyebab LUSI : erupsi gununglumpur akibat gerak tektonik dan dapat berhubungan dengan gejala geothermal dari kompleks gunungapi Anjasmoro-Welirang-Arjuno di sebelah selatan Sidoarjo. Tentu jalannya panjang untuk sampai ke kesimpulan ini, dan telah banyak sekali diskusi tentang ini. Saya tahu bahwa ada kelompok anggota IAGI yang tidak sependapat tentang penyebab bencana ini seperti kesimpulan tim LUSI IAGI - tetapi inilah kesimpulan tim resmi IAGI untuk kasus LUSI. Presentasi Pak Edy juga memuat usulan cara membuang lumpur ke laut, yaitu menggunakan usulan BPPT yang disebut "Slufter Porong". Dengan sistem ini, akan dapat ditampung sebanyak 41.5 juta m3 lumpur dalam waktu 15.5 tahun menggunakan beberapa asumsi. Sistem ini nantinya akan membentuk delta Porong seluas sekitar 2500 ha sampai kedalaman laut 2 meter. Pada sesi pertanyaan, para anggota DPD-RI bertanya hal2 yang dapat dikelompokkan menjadi pertanyaan2 : (1) mengapa selama ini Pemerintah tak mau mendengarkan IAGI padahal IAGI lah yang paling mengetahui soal bawah permukaan kasus LUSI, (2) apakah LUSI ini bencana alam atau bencana buatan manusia, (3) bagaimana hubungan gempa di Yogya 27 Mei 2008 dengan semburan LUSI yang dimulai 29 Mei 2006, (4) bagaimana peluang bahwa PT Lapindo/Minara akan menguasai tanah negara yang kaya minyak sebab merekalah yang selama ini dimintai Pemerintah mengganti rugi kepada masyarakat, kelak bila kasus LUSI telah selesai dan eksplorasi migas positif, maka daerah tidak akan mendapatkan sedikit pun bagian migas sebab tanahnya telah menjadi hak milik PT Lapindo/Minara, (5) Bagaimana mendapatkan kesepakatan para ahli tentang penyebab kasus LUSI, (6) apakah memang semburan LUSI tidak bisa dihentikan. Pertanyaan2 dapat dijawab dengan baik oleh perwakilan IAGI yang hadir di rapat. Rapat ditutup oleh SetJen DPD-MPR RI dengan kesimpulan bahwa DPD-RI puas dengan penjelasan teknis IAGI atas kasus LUSI dan akan meneruskannya ke pihak2 terkait di lembaga legislatif maupun eksekutif (Pemerintah).

Duta Besar RI untuk Malaysia Hadi Wayarabi Alhadar di Kuala Lumpur membenarkan adanya dampak dari setiap pernyataan pejabat di Indonesia terhadap para pekerja. "Ya, kami tahu itu ada, tetapi kan tidak harus dibicarakan," katanya.
Tetap tegas
Di tengah suara protes atas hukum yang diterapkan bagi pekerja asing ilegal, Selasa, Menteri Negara Bagian Sabah Musa Aman mengatakan, pihaknya tetap akan bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran keimigrasian.
"Pendatang gelap dari negara mana pun mereka datang akan menghadapi nasib sama, mereka akan dihukum berdasar hukum kami," kata Musa Aman kepada kantor berita Bernama. (lok/bur/mba/AP/ret)

opini nadia dan dita:
sekarang ini mpr sudah banyak ternodai oleh banyaknya korupsi dan juga mpr lebih mementingkan urusan pribadi daripada negara. contohnya sby dengan jk yg sudah tidak bersatu lagi padahal tugas mereka sebagai presiden dan wakil presiden belum selesai 100%.

seandainya aku menjadi
nadia dan dita:
saya akan berusaha menjadikan negara ini menjadi negara yang maju dan berusaha untuk tidak korupsi serta berusaha untuk mementingkan urusan negara daripada urusan pribadi.

Tidak ada komentar: